Ketaatan Mbah Manab Kepada Gurunya
Saya terkesima dengan cerita Syaikhina KH. Abdul Karim, Pendiri Pondok Pesantren Lirboyo. Semasa ia mengaji kepada Syaikhina Kholil Bangkalan, ia ialah murid yang sangat ta’dhim dan khidmah kepada gurunya.
Alkisah, suatu hari Mbah Abdul Karim muda bekerja memanen padi di sawah milik warga kampung sekitar Pesantren. Dari sana ia mendapat upah berupa beberapa ikat padi yang bakal digunakannya untuk biaya hidup di Pesantren. Namun, sesampai di kediaman sang guru (Mbah Kholil), justru Mbah Kholil meminta padi muridnya itu untuk diberikan kepada ayam-ayam Mbah Kholil. Karena ini dawuh sang guru, KH. Abdul Karim pribadi menyerahkan padinya. Ia didawuhi Mbah Kholil untuk selama mondok cukup memakan daun pace (mengkudu).
Demikianlah cerita mondoknya Mbah Abdul Karim, sehingga balasannya ia diijinkan sang guru untuk boyong, alasannya ialah semua ilmu Mbah Kholil telah diwariskan kepadanya. Sesampai di kampung halaman, Mbah Abdul Karim mulai merintis Majlis Ta’lim, hingga balasannya berdirilah Pondok Pesantren Lirboyo. Mbah Abdul Karim mengajarkan ilmu yang ia timba dari kedalaman samudera ilmu Mbah Kholil.
Satu hal yang unik, setiap membacakan (mengajar) kitab di depan para santri, ketika ia bertemu dengan ruju’ (tempat kembalinya maksud dari sebuah kata), ia tidak pernah menyebutkan ruju’nya secara gamblang. Beliau menyebutkan dengan ‘iku mau’, atau ‘mengkono mau’ (yang tadi atau “sebagaimana tadi”). Tentu ini membingungkan bagi para santri baru. Hingga pernah suatu ketika pada dikala pengajian bulan Ramadhan, atau dikenal dengan istilah ‘posonan’, seorang santri dari luar kawasan mengikuti pengajian Mbah Abdul Karim. Karena setiap mengajar kitab, Mbah Abdul Karim jarang menjelaskan ruju’annya, santri gres ini ‘nggerundel’; “Ini bagaimana, katanya seorang kyai ‘alim, kok setiap ada ruju’an tidak pernah dijelaskan?”, gumamnya dalam hati.
Dengan izin Allah, Mbah Abdul Karim ‘perso’ (mengetahui) tentang keluhan sang santri ini. Di tengah suasana mengaji, Mbah Abdul Karim dhawuh; “Laa ya’rifu al dhomir illa al dhomir, fa man lam ya’rif al dhomir fa laisa lahu al dhomir” (tidak akan pernah mengetahui makna dhomir kecuali hati (dhomir), maka apabila seseorang tidak mengetahui dhomir, itu artinya dia tidak punya hati). Lalu ia menjelaskan kepada para santri, bahwa demikianlah (dengan tidak menjelaskan ruju’nya dhomir) pengajian yang diajarkan oleh gurunya, Mbah Kholil. Sehingga ketika mengajar kepada santrinya, Mbah Abdul Karim tidak berani mengubah apa yang diajarkan sang guru kepadanya.
Wallahu A’lam
Alkisah, suatu hari Mbah Abdul Karim muda bekerja memanen padi di sawah milik warga kampung sekitar Pesantren. Dari sana ia mendapat upah berupa beberapa ikat padi yang bakal digunakannya untuk biaya hidup di Pesantren. Namun, sesampai di kediaman sang guru (Mbah Kholil), justru Mbah Kholil meminta padi muridnya itu untuk diberikan kepada ayam-ayam Mbah Kholil. Karena ini dawuh sang guru, KH. Abdul Karim pribadi menyerahkan padinya. Ia didawuhi Mbah Kholil untuk selama mondok cukup memakan daun pace (mengkudu).
Demikianlah cerita mondoknya Mbah Abdul Karim, sehingga balasannya ia diijinkan sang guru untuk boyong, alasannya ialah semua ilmu Mbah Kholil telah diwariskan kepadanya. Sesampai di kampung halaman, Mbah Abdul Karim mulai merintis Majlis Ta’lim, hingga balasannya berdirilah Pondok Pesantren Lirboyo. Mbah Abdul Karim mengajarkan ilmu yang ia timba dari kedalaman samudera ilmu Mbah Kholil.
Satu hal yang unik, setiap membacakan (mengajar) kitab di depan para santri, ketika ia bertemu dengan ruju’ (tempat kembalinya maksud dari sebuah kata), ia tidak pernah menyebutkan ruju’nya secara gamblang. Beliau menyebutkan dengan ‘iku mau’, atau ‘mengkono mau’ (yang tadi atau “sebagaimana tadi”). Tentu ini membingungkan bagi para santri baru. Hingga pernah suatu ketika pada dikala pengajian bulan Ramadhan, atau dikenal dengan istilah ‘posonan’, seorang santri dari luar kawasan mengikuti pengajian Mbah Abdul Karim. Karena setiap mengajar kitab, Mbah Abdul Karim jarang menjelaskan ruju’annya, santri gres ini ‘nggerundel’; “Ini bagaimana, katanya seorang kyai ‘alim, kok setiap ada ruju’an tidak pernah dijelaskan?”, gumamnya dalam hati.
Dengan izin Allah, Mbah Abdul Karim ‘perso’ (mengetahui) tentang keluhan sang santri ini. Di tengah suasana mengaji, Mbah Abdul Karim dhawuh; “Laa ya’rifu al dhomir illa al dhomir, fa man lam ya’rif al dhomir fa laisa lahu al dhomir” (tidak akan pernah mengetahui makna dhomir kecuali hati (dhomir), maka apabila seseorang tidak mengetahui dhomir, itu artinya dia tidak punya hati). Lalu ia menjelaskan kepada para santri, bahwa demikianlah (dengan tidak menjelaskan ruju’nya dhomir) pengajian yang diajarkan oleh gurunya, Mbah Kholil. Sehingga ketika mengajar kepada santrinya, Mbah Abdul Karim tidak berani mengubah apa yang diajarkan sang guru kepadanya.
Wallahu A’lam
Comments
Post a Comment