H. Abdul Bari, Pemimpin Bahagia Memberi Dan Sederhana

Beliau lahir pada sekitar tahun 1880 M. di desa Sidapurna, Dukuhturi, Tegal. Ayah dia berjulukan H. Abdul Syukur yang sehari-harinya bekerja sebagai petani. Ayah dia juga dikenal sebagai sosok kyai kampung atau tokoh masyarakat. Selain menjadi Khatib/Imam Shalat Jum'at di Masjid juga mengimami shalat jama'ah di Musholla akrab rumahnya. Namun, sangat disayangkan Musholla itu kini sudah tidak ada lagi lantaran dimakan oleh zaman.

H. Abdul Bari ialah sosok cowok yang punya kemauan keras dan cerdas. Sehingga banyak dari beberapa orang bau tanah yang menginginkannya sebagai menantu. Disamping lantaran cerdas dan berkemauan keras juga sebagai putra seorang tokoh masyarakat. Pada sekitar tahun 1900 M., ayah dia menunaikan ibadah haji di Kota Suci Mekkah. Pada masa itu, seluruh jama’ah haji di Indonesia memakai Kapal Laut sebagai kendaraan menuju Kota Suci Mekkah dengan menempuh perjalanan selama ±3 bulan. Sebenarnya, dia sudah diajak oleh ayahnya untuk berangkat bersama ke Kota Suci Mekkah, namun dia masih enggan lantaran jiwa mudanya yang masih ingin mencari kesuksesan sendiri. Tak disangka, ketika dia bertemu dengan seorang pejabat setingkat camat yang paham ihwal agama dan menceritakan ihwal undangan ayahnya itu. Sang pejabat itu berkata, “Engkau harus menunaikan haji sekarang, alasannya undangan ayahmu ialah bab dari panggilan Allah”. Dan dia pun menuruti pesan yang tersirat sang pejabat itu dan pribadi berangkat ke Jakarta menyusul ayah dan ibunya untuk menunaikan ibadah haji.



Setelah menunaikan ibadah haji, dia kemudian mencari pendamping hidup untuk melakukan Sunnah Rasul. Akhirnya, dia menjadi menantu Bapak Sungging Prabangkara yang tidak lain ialah lurah desa sekaligus salah satu orang terkaya di desa Sidapurna. Beliau menikah dengan ibu Taryunah putri Bapak Sungging Prabangkara dan dikaruniai 10 anak.

Pada waktu Bapak Sungging Prabangkara wafat, kepemimpinan desa Sidapurna beralih ke tangan putranya. Namun, ketika kakak iparnya itu menunaikan ibadah haji, kepemimpinan desa Sidapurna diserahkan kepada H. Abdul Bari sebagai adik ipar yang pantas mendudukinya. Setelah menduduki jabatan sebagai lurah desa, dia pun membangun desanya dengan baik sehingga dia disegani oleh warga desa. Walaupun dia seorang pemimpin yang kaya, namun dia tetap bahagia memberi dan sederhana sehingga warga desa pun segan dan hormat kepada beliau. Di samping sebagai petani sukses yang mempunyai beberapa hektar sawah, dia juga mempunyai peternakan kuda. Bahkan, dia mempunyai kuda kesayangan sebagai tunggangan pribadinya. Sampai-sampai ketika kuda kesayangan dia itu mati, kuda itu dikubur di kebun dia sendiri.

Menurut dongeng tutur, setiap ada panen raya di desa Sidapurna, dia selalu mengadakan syukuran atau makan besar untuk warga desa selama beberapa hari. Sehingga banyak warga desa yang segan dan hormat kepada dia sebagai seorang lurah desa yang bahagia memberi dan perhatian kepada warganya. Bahkan ketika ekspresi dominan tanam tiba, banyak warga desa yang sengaja membawa anak-anaknya untuk membantu atau bekerja di sawah-sawah milik beliau. Karena, mereka sudah memprediksi, niscaya semuanya sanggup bab upah walaupun bawah umur mereka hanya main-main saja di sawah. Warga desa sudah tahu kalau dia ialah orang yang kaya dan dermawan. 

Pada zaman penjajahan, jabatan lurah desa ialah jabatan yang prestise dan biasanya dijabat oleh keluarga secara bebuyutan lantaran pemerintahan sentra masih dikendalikan oleh Kolonial Belanda sehingga kepemimpinan-kepemimpinan di tingkat desa menyerupai halnya kerajaan-kerajan kecil. Menurut cerita, setiap warga desa yang akan menghadap ke lurah desa di pendopo desa harus berjalan sambil jongkok sebagaimana tradisi ketika menghadap Raja di keraton.

Ada sebuah kisah ihwal kesederhanaan beliau, pada suatu hari, dia kedatangan tamu yang tidak lain ialah teman dia yang rumahnya di tempat perkotaan. Pada waktu itu, sang tamu mengendarai kendaraan beroda empat mewah. Anak-anak dia pun keheranan dan bahagia memandang kendaraan beroda empat teman ayahnya itu. Wajarlah, jikalau bawah umur dia bahagia melihat dan memandangi kendaraan beroda empat tersebut. Karena, zaman penjajahan ialah zaman yang penuh penderitaan bagi rakyat Indonesia, jangankan mobil, motor pun rakyat Indonesia jarang ada yang memiliki. Setelah tamu tersebut pulang, sang anak bertanya, “Ayah, kendaraan beroda empat sobat ayah cantik sekali, apakah ayah bisa membeli kendaraan beroda empat menyerupai itu?”. Beliau pun hanya tersenyum seraya berkata, “Jangankan satu mobil, dua kendaraan beroda empat pun ayah sanggup, tapi ayah tidak suka bermewah-mewahan”.

Di ketika menjalani kiprah dan membangun rumah tangga, istri dia meninggal dunia dan dimakamkan di area pemakaman keluarga. Lalu, dia pun menikah lagi dengan gadis yang berjulukan ibu Tarjunah dan dikaruniai 5 anak. Dan sehabis menikah yang kedua kali dan dikaruniai 5 anak, ibu Tarjunah pun meninggal dunia kemudian dimakamkan di belakang Masjid Nurul Iman, Sidapurna.

Pada masa penjajahan Belanda dan Jepang, desa Sidapurna pun tidak luput dari perampasan bahan-bahan masakan oleh tentara penjajah. Namun, lantaran kecerdasan dan kelihaian dia dalam memimpin desa Sidapurna, tentara penjajah pun hanya sanggup sedikit di desa itu. Beliau memerintahkan warga desanya untuk memendam atau mengubur bahan-bahan masakan di dalam atau belakang rumah semoga tidak dijarah oleh tentara penjajah.

Setelah mengemban amanah sebagai lurah desa selama puluhan tahun. Akhirnya, dia menghembuskan nafas terakhir pada hari Ahad Pon, tanggal 11 Juni 1961 M. atau bertepatan dengan tanggal 26 Dzulhijjah 1380 H. Jenazah dia dimakamkan di area pemakaman keluarga. H. Abdul Bari ialah sosok pemimpin yang bertanggung jawab, tegas, dermawan, sederhana dan sayang keluarga. Maka, tidaklah mengherankan jikalau sebelum dia wafat, dia sudah membangunkan rumah atau tempat tinggal untuk seluruh putra-putrinya yang berjumlah ±15 anak. Beliau juga membangun sebuah Musholla di tengah-tengah rumah putra-putrinya. Alhamdulillah, Musholla itu masih berdiri kokoh dan masih dipakai sebagai tempat ibadah bagi masyarakat umum.

Wallahu A’lam


al-Faqier Ila Rahmati Rabbih

Saifurroyya
Kaliwungu Kota Santri


Comments

Popular posts from this blog

Kisah Penyembah Api Yang Masuk Surga

Kisah Andal Ibadah Dan Pendosa