Ternyata Universitas Oxford ‘Meniru’ Sistem Pesantren
“… pesantren itu selama ini disebut pendidikan tradisional, iku kurang bimbing tenan. Terus sing tradisional ki dianggep luweh rendah timbangane sekolah modern. Aku kepengen ngomong, eh tak kandani yo, pesantren itu mulai ditiru wong sak donyo saiki. Besok sak donyo ki pesantren kabeh ” – Cak Nun
” … I realise that in fact, Oxford University its self is a pondok” - Dr. Afifi Al-Akiti (Dosen Studi Islam, Universitas Oxford, Inggris; Alumni Pondok Pesantren Kencong Jember Jawa Timur)
Ketika banyak orang dengan besar hati menyampaikan ‘saya alumni ITB, ITS, UI, UGM, UB’ atau ‘saya alumni kampus luar negeri’, entah mengapa, meskipun saya alumni salah satu kampus tersebut, saya jauh lebih besar hati menyampaikan ‘saya alumni pondok pesantren’. Buat saya, pesantrenlah yang telah banyak mendefinisikan bagaimana saya memandang dan menjalani hidup dan kehidupan ini. Buat saya, pesantren bukanlah sekedar sekolah biasa. Buat saya, mondok di pesantren yaitu masuk kawah candra dimuka sekolah kehidupan. Dari bilik-bilik sederhana di pesantren itulah, saya temukan nilai-nilai kebajikan hidup yang terus jadi pegangan hidup sampai dikala ini. Dari wajah-wajah yang sejuk dipandang dari para kyai itulah, saya temukan ide hidup kolam lentera yang tak pernah padam di dalam jiwa. Dari do’a-do’a lapang dada para ustadz, ustadzah, pak kyai, dan bu nyai itulah, saya rasakan kebarokahan hidup sampai dikala ini.
Di jaman ketika semua ada label harganya. Di jaman ketika rupa dan angka dipuja. Miris rasanya, merenungi sekolah dan universitas tak ubahnya menyerupai pabrik-pabrik yang memproduksi produk massal. Mencetak manusia-manusia setengah robot yang nyaris kehilangan sisi-sisi kemanusiannya, yang nyaris mati sisi-sisi spiritualnya. Manusia-manusia yang dituntut seragam kompetensinya, dan sesuai standar kebutuhan industri-industri pengeruk laba materialistis. Manusia-manusia yang pada hasilnya menuhankan makhluk berjulukan uang. Sehingga rela menyerahkan apapun, termasuk kehormatan dan harga dirinya hanya untuk uang. Argh, sungguh, pendidikan sudah kehilangan ruh pendidikan yang seharusnya memanusiakan manusia. Disitulah, saya merasa orang paling beruntung di dunia, sebab pernah mondok di pesantren.
Kebanggaan saya akan pesantren makin bertambah, justru ketika saya mengenyam pendidikan di Inggris. Betapa kagetnya saya ketika saya tahu ainul yaqin bahwa ternyata dua kampus terbaik di Inggris, dan terbaik di dunia, Universitas Oxford dan Universitas Cambridge ternyata sistem pendidikannya sama persis dengan sistem pendidikan di pesantren. Memasuki kompleks dua kampus ini tak ubahnya memasuki kompleks pesantren, kebetulan saya pernah berkesempatan nyantri kilat sekolah demam isu panas selama seminggu di Universitas Cambridge dan pernah berkunjung di Universitas Oxford. Jangan kira, sampean akan menemukan goresan pena besar University of Cambridge atau University of Oxford menyerupai kampus-kampus di Indonesia. Di kompleks dua kampus ini, sampean akan menemukan kumpulan college-college yang tak ubahnya asrama-asrama di pesantren. Di setiap college, terdapat sebuah gereja, lecture hall, dining room, dan asrama yang diketuai seorang profesor yang paling besar lengan berkuasa di college tersebut. Yang tak jauh bedanya dengan asrama santri dengan masjid, daerah mengaji/madrasah, pemondokan dan kantin yang diasuh oleh kyai. Tak hanya penampakan fisik, sistem pendidikanya pun tak ubah sistem sorogan dan bandongan di pesantren.
Semula saya pikir saya yaitu satu-satunya yang mengklaim kesamaan antara sistem pendidikan pesantren dan sistem pendidikan di OxBridge (Oxford dan Cambridge). Hingga suatu ketika, saya bertemu dengan seorang teman, mahasiswa Malaysia di Universitas Korowin (Universitas Tertua di Dunia), Maroko, pada suatu kesempatan di Den Haag, Belanda. Saya terkejut ketika beliau yang alumni pesantren di Kediri, Jawa timur dan sering berkunjung ke Oxford, dimana salah seorang pamannya mengajar islamic studies disana, berkata: ‘ yah sistem pendidikan Oxford dan Cambridge itu ya sama persis dengan sistem pendidikan pesantren’. Rupa-rupanya, tanpa janjian, we shared the same opinion.
Kadang kita memang sering merasa inferior melihat punya orang lain, padahal kita telah mempunyai sesuatu yang lebih baik. Kata pepatah Jawa, golek uceng kelangan delek. Kejadian serupa, ketika berada di stasiun kereta Api Rotterdam Central, Belanda, saya tidak sengaja bertemu dengan seorang mahasiswa Indonesia yang sedang mencar ilmu seni musik di salah satu kampus di Rotterdam. Seorang mitra tadi bilang: ” Waduh mas, tahu ndak Gamelan itu diakui dunia sebagai alat musik paling intuitive di dunia, karenanya gamelan yaitu ‘mainan’ gres yang sangat menarik bagi para ilmuwan seni musik, ketika mereka sudah mencapai titik jenuh, stagnansi dengan seni musik modern barat.
Argh, ternyata benar menyerupai yang dibilang Cak Nun, ternyata pesantren yaitu sistem pendidikan orisinil Indonesia yang luar biasa. Sistem pendidikan terbaik yang bahkan Oxford dan Cambridge pun menirunya. Sayang, di negeri sendiri, pesantren malah dimarginalkan. Sama halnya, gamelan yang dianggap tradisional dan terpinggirkan di negeri sendiri. Padahal, di seluruh dunia orang-orang berbondong-bondong mencar ilmu musik gamelan. Entahlah. Terkadang saya susah untuk mengerti.
Sudah saatnya kita sadar dan besar hati dengan milik kita sendiri, besar hati mewarisi kearifan para leluhur kita. Sudah saatnya kita berhenti menjadi angsa yang selalu ikut kemana arus dunia berjalan. Karenanya, untuk adik-adik muda, dan para orang bau tanah yang tak ingin sekedar pemuja rupa dan angka, cukup hanya dua kata: Ayo Mondok !
Catatan Pinggir: ‘Meniru’ (judul) bahasa marketing saya untuk menawarkan kemiripan. Bisa jadi jangan-jangan Oxford Cambridge menjiplak sistem pesantren, atau sebaliknya. Bisa jadi sekedar kebetulan. Bisa jadi keduanya menjiplak sistem yang sama dari model sebelumnya yang lain.
Oleh : Muklason / Cak Shon (Mahasiswa S2 Universitas Nottingham, Inggris)
Sumber : cakshon.com
” … I realise that in fact, Oxford University its self is a pondok” - Dr. Afifi Al-Akiti (Dosen Studi Islam, Universitas Oxford, Inggris; Alumni Pondok Pesantren Kencong Jember Jawa Timur)
Ketika banyak orang dengan besar hati menyampaikan ‘saya alumni ITB, ITS, UI, UGM, UB’ atau ‘saya alumni kampus luar negeri’, entah mengapa, meskipun saya alumni salah satu kampus tersebut, saya jauh lebih besar hati menyampaikan ‘saya alumni pondok pesantren’. Buat saya, pesantrenlah yang telah banyak mendefinisikan bagaimana saya memandang dan menjalani hidup dan kehidupan ini. Buat saya, pesantren bukanlah sekedar sekolah biasa. Buat saya, mondok di pesantren yaitu masuk kawah candra dimuka sekolah kehidupan. Dari bilik-bilik sederhana di pesantren itulah, saya temukan nilai-nilai kebajikan hidup yang terus jadi pegangan hidup sampai dikala ini. Dari wajah-wajah yang sejuk dipandang dari para kyai itulah, saya temukan ide hidup kolam lentera yang tak pernah padam di dalam jiwa. Dari do’a-do’a lapang dada para ustadz, ustadzah, pak kyai, dan bu nyai itulah, saya rasakan kebarokahan hidup sampai dikala ini.
Di jaman ketika semua ada label harganya. Di jaman ketika rupa dan angka dipuja. Miris rasanya, merenungi sekolah dan universitas tak ubahnya menyerupai pabrik-pabrik yang memproduksi produk massal. Mencetak manusia-manusia setengah robot yang nyaris kehilangan sisi-sisi kemanusiannya, yang nyaris mati sisi-sisi spiritualnya. Manusia-manusia yang dituntut seragam kompetensinya, dan sesuai standar kebutuhan industri-industri pengeruk laba materialistis. Manusia-manusia yang pada hasilnya menuhankan makhluk berjulukan uang. Sehingga rela menyerahkan apapun, termasuk kehormatan dan harga dirinya hanya untuk uang. Argh, sungguh, pendidikan sudah kehilangan ruh pendidikan yang seharusnya memanusiakan manusia. Disitulah, saya merasa orang paling beruntung di dunia, sebab pernah mondok di pesantren.
Kebanggaan saya akan pesantren makin bertambah, justru ketika saya mengenyam pendidikan di Inggris. Betapa kagetnya saya ketika saya tahu ainul yaqin bahwa ternyata dua kampus terbaik di Inggris, dan terbaik di dunia, Universitas Oxford dan Universitas Cambridge ternyata sistem pendidikannya sama persis dengan sistem pendidikan di pesantren. Memasuki kompleks dua kampus ini tak ubahnya memasuki kompleks pesantren, kebetulan saya pernah berkesempatan nyantri kilat sekolah demam isu panas selama seminggu di Universitas Cambridge dan pernah berkunjung di Universitas Oxford. Jangan kira, sampean akan menemukan goresan pena besar University of Cambridge atau University of Oxford menyerupai kampus-kampus di Indonesia. Di kompleks dua kampus ini, sampean akan menemukan kumpulan college-college yang tak ubahnya asrama-asrama di pesantren. Di setiap college, terdapat sebuah gereja, lecture hall, dining room, dan asrama yang diketuai seorang profesor yang paling besar lengan berkuasa di college tersebut. Yang tak jauh bedanya dengan asrama santri dengan masjid, daerah mengaji/madrasah, pemondokan dan kantin yang diasuh oleh kyai. Tak hanya penampakan fisik, sistem pendidikanya pun tak ubah sistem sorogan dan bandongan di pesantren.
Semula saya pikir saya yaitu satu-satunya yang mengklaim kesamaan antara sistem pendidikan pesantren dan sistem pendidikan di OxBridge (Oxford dan Cambridge). Hingga suatu ketika, saya bertemu dengan seorang teman, mahasiswa Malaysia di Universitas Korowin (Universitas Tertua di Dunia), Maroko, pada suatu kesempatan di Den Haag, Belanda. Saya terkejut ketika beliau yang alumni pesantren di Kediri, Jawa timur dan sering berkunjung ke Oxford, dimana salah seorang pamannya mengajar islamic studies disana, berkata: ‘ yah sistem pendidikan Oxford dan Cambridge itu ya sama persis dengan sistem pendidikan pesantren’. Rupa-rupanya, tanpa janjian, we shared the same opinion.
Kadang kita memang sering merasa inferior melihat punya orang lain, padahal kita telah mempunyai sesuatu yang lebih baik. Kata pepatah Jawa, golek uceng kelangan delek. Kejadian serupa, ketika berada di stasiun kereta Api Rotterdam Central, Belanda, saya tidak sengaja bertemu dengan seorang mahasiswa Indonesia yang sedang mencar ilmu seni musik di salah satu kampus di Rotterdam. Seorang mitra tadi bilang: ” Waduh mas, tahu ndak Gamelan itu diakui dunia sebagai alat musik paling intuitive di dunia, karenanya gamelan yaitu ‘mainan’ gres yang sangat menarik bagi para ilmuwan seni musik, ketika mereka sudah mencapai titik jenuh, stagnansi dengan seni musik modern barat.
Argh, ternyata benar menyerupai yang dibilang Cak Nun, ternyata pesantren yaitu sistem pendidikan orisinil Indonesia yang luar biasa. Sistem pendidikan terbaik yang bahkan Oxford dan Cambridge pun menirunya. Sayang, di negeri sendiri, pesantren malah dimarginalkan. Sama halnya, gamelan yang dianggap tradisional dan terpinggirkan di negeri sendiri. Padahal, di seluruh dunia orang-orang berbondong-bondong mencar ilmu musik gamelan. Entahlah. Terkadang saya susah untuk mengerti.
Sudah saatnya kita sadar dan besar hati dengan milik kita sendiri, besar hati mewarisi kearifan para leluhur kita. Sudah saatnya kita berhenti menjadi angsa yang selalu ikut kemana arus dunia berjalan. Karenanya, untuk adik-adik muda, dan para orang bau tanah yang tak ingin sekedar pemuja rupa dan angka, cukup hanya dua kata: Ayo Mondok !
Catatan Pinggir: ‘Meniru’ (judul) bahasa marketing saya untuk menawarkan kemiripan. Bisa jadi jangan-jangan Oxford Cambridge menjiplak sistem pesantren, atau sebaliknya. Bisa jadi sekedar kebetulan. Bisa jadi keduanya menjiplak sistem yang sama dari model sebelumnya yang lain.
Oleh : Muklason / Cak Shon (Mahasiswa S2 Universitas Nottingham, Inggris)
Sumber : cakshon.com
Comments
Post a Comment